Rabu, 01 Juni 2016

Kamu dan Pelangi



Hujan.
Awal hal yang selalu mengingatkanku tentangmu. Bukan, bukan tentang hujan. Tetapi tentang pelangi yang muncul usai hujan. Sembari menunggu muncul pelangi, menghirup petrikor memang hal yang menyenangkan. Katamu, kalau ada parfum dengan aroma seperti ini, kamu pasti akan membelinya dan tidak mau membaginya denganku.
*
“Ra, keluar rumah!”
            Sayup-sayup terdengar suara seseorang yang tengah memanggilku dan menyuruhku untuk keluar rumah. Kutengok melalui jendela untuk melihat siapa yang memanggilku.
            “Adit! Tunggu!” balasku.
            Aku bergegas ke lantai bawah dan menyusul Adit yang sudah duduk manis di ayunan depan rumahku.
            “Ada apa?” tanyaku seraya duduk di sampingnya.
            “Bentar lagi hujan!” katanya riang.
            “Apa sih istimewanya hujan?” omelku.
            “Kalau lagi hujan kita bisa hujan-hujanan, ngehirup petrikor. Terus abis itu lihat pelangi deh,” jelasnya.
            “Kamu cowok kok seneng pelangi sih? Aku aja yang cewek biasa aja.”
            “Pelangi itu keren, istimewa. Cuma muncul kalau habis hujan,” kata Adit. “Tapi enggak tahu juga sih, selalu muncul apa enggak.”
            Aku mencerna kata-kata yang keluar dari mulut cowok ini. Benar juga ya.
            Sore itu aku menuruti keinginan Adit untuk hujan-hujanan, menghirup petrikor, kemudian melihat pelangi dengan baju yang basah. Melihat Adit begitu bahagia menikmati semua ini, membuatku diam-diam tersenyum. Bahagia memang sederhana.
*
Rivaldi Adnan.
            Nama panggilannya sebenarnya adalah Valdi. Entah kenapa hanya aku yang memanggilnya Adit. Kata ibu, waktu kecil aku sulit mengatakan Valdi, sehingga aku memanggilnya Adit.
            Adit itu teman rumah, teman sekolah, sahabat, juga keluarga. Sejak aku kecil hingga sekarang, bisa dibilang sebagian besar hidupku kuhabiskan dengan dia. Selain bertetangga, orangtuaku dan dia kebetulan bekerja di tempat yang sama dan sering berpergian. Sehingga aku sering tinggal bersama Adit dengan Kak Fara, kakaknya Adit.
            Ohya mengenai hobi Adit melihat pelangi, ya, itu sudah dari kecil. Aku enggak tahu kenapa dia suka banget lihat pelangi. Katanya waktu kecil, “Pelangi itu cantik, kayak kamu.” Aku enggak tahu dia mengucapkannya sungguh-sungguh atau hanya untuk merayuku menemaninya melihat pelangi. Aku pikir, itu kan waktu masih kecil, pasti dia enggak mengucapkannya dengan sungguhan.
*
Akhir-akhir ini hujan jarang turun. Akhir-akhir ini juga Adit jarang terlihat. Di rumah maupun di sekolah. Aku enggak tahu apakah dia lagi ke luar kota atau gimana. Dia enggak memberikan kabar apapun.
            “Spada!”
            Aku beranjak dari sofa dan membuka pintu rumah.
            “Ini mbak, ada kiriman bunga,” katanya sambil memberikan sebuket bunga mawar biru dan putih. “Tolong tanda tangan disini, ya.”
            Setelah menandatangani tanda terima, kupandangi mawar ini. Dari siapa?
*
Untuk Aira dari Adit
Hai, apa kabar, Ra? Aku harap kamu baik-baik saja. Maaf ya, aku menghilang. Aku enggak ngabarin kamu.
            Ohya, gimana mawarnya? Suka? Mawar biru itu melambangkan kekaguman, mengekspresikan cinta akan pandangan pertama. Sedangkan mawar putih melambangkan cinta dan persahabatan sejati.
            Kamu masih ingat nggak, waktu kecil aku pernah bilang kamu cantik? Aku harap kamu nggak menganggapnya bercanda, haha.
            Aira, mungkin ketika hujan berikutnya datang dan pelangi muncul, itu pertama kalinya aku akan menikmatinya sendiri, begitu juga kamu. Mungkin akan terasa berbeda, kurang, atau aneh. Mungkin ketika hujan turun, air mataku pun ikut turun. Mungkin ketika pelangi muncul, tak akan seindah ketika aku bersamamu. Tapi, ini semua masih mungkin, kan? J
            Suatu saat nanti pasti kita akan bertemu lagi (kalau jodoh, haha! Aku harap sih begitu). Sampai jumpa!
Dari Adit yang sayang Aira
*
Tidak terasa air mataku menetes. Mata ini memanas. Hatiku sakit. Kenapa kamu pergi begitu aja, Dit? Di suratmu ini pun, kamu nggak ngejelasin kenapa kamu pergi dan kemana kamu pergi. Kenapa?!
            Duniaku terasa runtuh begitu saja. Tidak hanya runtuh, tetapi juga menjadi serpihan-serpihan yang tak tersisa.
*
Pelangi.
Kupejamkan mata untuk menahan air bah yang akan tumpah. Mengingat masa kecil kita. Mengingat kembali segala percakapan yang kita ucapkan. Mengingat bagaimana kamu sangat bahagia ketika pelangi muncul.
            Kubuka mataku untuk melihat pelangi di ujung sana. Kemudian melihat ayunan di depan rumahku. Kosong. Sama seperti hatiku.
Adit, walaupun kita enggak melihat pelangi bersama untuk sekarang ini dan entah sampai kapan, aku harap kamu akan selalu mengingatku ketika melihat pelangi. Enggak usah tanya apakah aku akan mengingatmu atau tidak, karena kamu akan selalu ada di hati aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar