Senin, 28 September 2015

Kutemukanmu

Tita
Kurasa pagi ini cukup cerah. Matahari bersinar begitu benderang dan membuatku kepanasan. Ya, pagi ini Mikha berangkat lebih awal dan enggak bilang apapun sama aku, enggak seperti biasanya. Jadilah aku berangkat sekolah sendirian deh, jalan kaki. Kalau ada Mikha kan, bisa bareng naik sepeda.
            Di tengah peluh yang menderas, kulihat mobil Mada sedang melintas. Segera aku berlarian mengejarnya.
            “Mada!”
            “Eh, elo. Sini naik,” kata Mada sembari keluar dari mobil untuk membukakan pintu mobil sisi kiri untukku.
            “Aduh, lo penyelamat banget Mad,” ujarku. Kuambil dua lembar tisu di dashboard untuk membersihkan wajahku yang berkeringat ini.
            “Biasanya sama Mikha. Kemana itu anak?” tanya Mada, melirikku sekilas.
            “Nah, itu Mad. Gue udah siap nungguin dia, enggak dateng-dateng coba. Akhirnya gue datengin rumahnya, terus kata Tante Nay, dia udah berangkat dari tadi! Nyebelin banget nggak sih?” omelku panjang lebar.
            “Enggak sih, biasa aja,” komentar Mada cuek.
            “Ih orang gue cerita, di iyain aja ngapa sih.”
            “Iya deh, jangan marah dong,” pinta Mada.
            “Terus gue sebenernya paling betenya nih di bagian dia enggak bilang apa-apa sama gue perihal ini. Telepon atau sms deh kan bisa, jadinya kan gue enggak usah nunggu terus bisa telepon lo minta jemput.”
            “Yaelah Ta, lo pikir gue supir. Sama Reuben kan juga bisa,” Mada protes sambil mengacak-acak rambutku.
            “Ih, jangan gitu dong, udah rapi juga,” aku merapikan rambutku. “Gue enggak kepikiran nelepon Ben. Biasanya emang gimana sih?” kataku sambil menjulurkan lidah.
            “Oke, emang biasanya gue jadi supirnya lo dan dua cowok tengil itu. Omong-omong, Mikha harus banget ya ngabarin lo?”
            “Haruslah! Gue kan...”
            “Hayo, lo siapanya?” pancing Mada sambil senyum-senyum enggak jelas.
            “Ya, gue sahabatnya dong. Gue juga khawatir kali dia kenapa-kenapa,” jawabku. Aku memalingkan wajah ke jendela untuk menutupi pipiku yang tiba-tiba memerah.

            “Oh gitu ya, hehe,” tanggap Mada usil.
*
Tita
            Memasuki gerbang sekolah, Mada mencari tempat yang masih kosong untuk memarkir mobilnya. Karena sudah agak siang, parkiran lumayan penuh.
            “Lo turun dulu aja, gue muter-muter nyari tempat parkir soalnya,” perintah Mada.
            “Oke kakak. Semangat ya cari parkirannya, makasih juga tumpangannya!” kataku. Kulihat Mada hanya mendengus kesal, dia emang selalu begitu.
            Usai turun dari mobil, aku bergegas menuju kelas Ekonomi 2, kelasku pada jam pertama.
            “Tita!”
            Aku menoleh ke belakang. Kudapati Reuben tersenyum kemudian menghampiriku.     
            “Lo jam pertama Ekonomi 2 kan? Kita kelas bareng, gue sama lo ya,” kata Reuben sembari merapikan kerahnya.
            “Oke, siap. Eh, lo kok ganteng banget sih pagi ini,” pujiku jujur.
            Reuben tersenyum lagi, lebih manis. “Apa sih Ta, gue emang ganteng. Lo nya aja enggak pernah nyadar.”
            “Ah elu mah, dipuji beneran malah narsis, dasar,” ujarku sewot.
            “Iya Sayang, jangan ngambek dong, nanti manisnya hilang,” goda Reuben, senyum-senyum di depan wajahku.
            “Idih, panggil-panggil sayang. Siapa lo? Siapa gue? Hah?”
            “Ah, lo lagi badmood ya?” Reuben mulai menginterogerasi, mendeteksi keanehan pada diriku.
            “Ya gitu deh, Ben.”
            “Kenapa? Cerita sama gue,” Reuben menggandeng tanganku, kemudian duduk di kursi koridor.
            “Mikha berangkat sekolah awal enggak ngabarin.”
            “Udah? Gitu doang?” tanya Reuben heran.
            “Intinya sih gitu. Untungnya tadi waktu di jalan ketemu Mada, ya udah numpang deh,” ceritaku.
            “Kenapa enggak telepon gue? Kan bisa gue jemput,” tanya Reuben.
            “Hehe, maaf Ben, gue enggak kepikiran elo,” jawabku polos. Sekilas mimik wajah Reuben berubah.
            “Oh, gitu ya,” timpal Reuben. “Tadi gue lihat Mikha kok, sama cewek.”
            DEG!
            Seketika jantungku berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Cewek? Dia sama siapa? Aduh...
            “Siapa?” tanyaku singkat.
            “Kurang tahu, tapi kayaknya anak baru deh. Mikha kan tukang nganterin anak baru di sekolah,” jawab Reuben.
            “Cantik nggak, sih?”
            “Kan gue udah bilang, gue kurang tahu. Kalau pun dia cantik, enggak bakal secantik elo, Ta,” rayuan gombal Reuben mulai muncul lagi.
            Pipiku merona merah.
            “Cie baper, hahaha. Tapi beneran, apa yang gue bilang tadi enggak bohong,” jelasnya.
            Teng! Teng!
            Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi. Aku dan Reuben mempercepat langkah menuju kelas yang masih beberapa meter lagi.
            Reuben menggandeng tanganku.
*
Mikha
“Kamu pindahan dari mana?” tanyaku sambil berjalan menuju kelas.
            “Aku dari Bandung,” jawabnya singkat.
            Anak baru ini namanya Kanya Kavarisa, begitu yang aku baca dari name tag yang ia kenakan. Nama yang manis, seperti orangnya, kurasa.
            “Ini jam pertama kamu di Ekonomi 2, bareng aku. Nanti kalau masih bingung tentang jadwal kelasnya, hubungin aku aja,” kataku sambil memberikan kartu namaku.
            “Mikha Angelo,” bacanya. “Nama kamu bagus, Mik.”
            “Haha, bisa aja kamu. Ya udah yuk ke kelas, udah bel masuk,” ajakku.
*
Tita
Kelas masih ramai karena Pak Adit belum datang. Tapi, kelas tiba-tiba menjadi diam seketika. Mikha masuk kelas. Bukan, bukan dia yang menjadi pusat perhatian, tetapi gadis di belakangnya. Apakah dia anak barunya?
            Mikha duduk di bangku depanku bersama gadis itu. Rasa kesal timbul dalam hatiku.
            “Mik,” panggilku pelan.
            “Ta, maaf banget aku enggak sempet ngabarin, biasa tugas dadakan. Maafin aku, ya?” mohon Mikha.
            “Iya aku maafin kok. Lain kali jangan gitu dong, aku jadi khawatir tahu. Eh, tapi biar aku maafin sepenuhnya Mik, ntar malem makan bareng yuk,” pintaku.
            “Oke deh, biar aku dimaafin sepenuhnya, haha,” Mikha mengiyakan.
*
Tita
“Eh, ke kantin, yuk, “ ajak Sonya, teman tapi mesranya si Mada.
            “Gue ngajak Kanya ya, biar rame sekalian kenalan,” kata Mada sambil menepuk pundak Kanya.
            Kami berenam, dengan formasi Mada-Sonya, Reuben-aku, dan Mikha-Kanya berjalan menuju kantin. Entah kenapa, aku jadi enggak mood. Reuben yang memperhatikanku, mulai kepo, “Lo napa lagi?”
            “Temenin gue yuk di kelas aja, tiba-tiba gue enggak enak badan,” aku menggandeng Reuben untuk berbalik arah, kembali ke kelas.
            “Eh, mau kemana, Ta?” tanya Mikha yang melihat aku berbalik arah.
            “Kelas.”
            Kemudian aku tak mendengarkan lagi apa yang Mikha tanyakan, aku ingin segera sampai kelas.
*
Reuben
Aku paling sedih kalau lihat Tita kayak gini. Kenapa Mikha enggak bisa ngertiin si Tita sih? Coba kalau aku bisa gantiin Mikha di hati kamu, Ta.
*
Mikha
Kurapikan lagi kemejaku, memastikan tidak ada yang kusut. Setelah kurasa keren, aku bergegas menuju markasku dan Tita sambil membawa gitar. Tempat pertama kali kita bertemu waktu kecil, di tengah-tengah halaman antara rumahku dan Tita.
Disana, kita selalu duduk bersama sambil cerita-cerita hal konyol sampai yang serius. Kadang aku memainkan gitar sambil bernyanyi, Tita berbaring di rumput sambil memejamkan matanya. Entah apa yang dia pikirkan.
Kulihat Tita sudah menungguku.
“Mik, lama amat sih,” protesnya begitu melihat kedatanganku.
“Maaflah, lagi persiapan biar cakep, ya nggak?” ujarku.
“Nggak usah diapa-apain juga, udah cakep Mik,” kata Tita, tersenyum.
Aku dan Tita duduk bersebelahan. Ia menyandarkan kepalanya dipundakku.
“Nyanyi dong,” pintanya pelan.
Kuambil gitar yang kuletakkan di sampingku. Aku mulai memetik senar demi senar gitar, mengalunkan lagu kesukaan kami berdua.
Aku cinta, aku takkan berdiam diri
Sampai kau mengerti
Aku cinta, dan tak mungkin ada akhirnya
Karena kaulah yang sempurna untukku
            “Yay, bagus, Mik. Makin lama suara kamu makin oke aja. Kenapa enggak ikut band aja? Jadi vokalis?” usul Tita sambil memandangku dengan wajah yang menggemaskan.
            “Apa sih, cuma suara gini doang di bilang bagus, malu kali, Ta,” tolakku. Aku memang enggak berminat dengan mengikuti band sekolah.
            “Cewek tadi, menurut kamu gimana?”
            “Kanya? Manis sih orangnya,” jawabku.
            “Oh gitu ya,” komentarnya singkat, sedikit nada kecewa terdengar.
            Kuhabiskan malam ini bersama sahabatku, Tita. Berbaring di rerumputan sambil memandangi jutaan bintang yang menghiasi langit malam. Menikmati malam yang indah ini bersama gadis yang aku selalu nyaman bersamanya. Tapi, entah mengapa, perlahan rasa nyaman itu memudar.
*
Tita
Ta, maaf banget enggak bisa berangkat bareng lagi. Mau nemenin Kanya keliling sekolah.
            Begitu isi pesan singkat yang kuterima pagi ini sebangun tidur. Tubuhku rasanya lemas, semangatku menghilang.
            Ini.
            Kabar buruk.
*
Tita
“Pagi Nona Cemberut,” sapa Reuben sambil terkekeh.
            “Hey, enak aja manggil gue Nona Cemberut,” aku menjitak kepala Reuben pelan. “Lo ntar malem ada acara enggak?”
            “Enggak tuh, kenapa?” tanya Reuben heran.
            “Jalan yuk, gue lagi butuh hiburan konyolnya elo,” ujarku jujur.
            “Wah, tumben-tumbenan nih. Dimana?” Reuben antusias banget.
            “Di Green Cafe ya, jam 7 malem, awas lo telat gue tabok,” ancamku sambil bercanda.
            “Oke, siap, Sayang. Nanti jam 7 tepat, gue jemput elo.”
            Setidaknya, aku bisa melupakan beban ini sejenak.
*
Reuben
Demi apa woy, Tita ngajak jalan! Hahaha, aku seneng banget sumpah. Mungkin ini bakal jadi waktu yang tepat buat ngomong ke dia. Oke, saatnya aku jemput cewek kesayanganku. Semoga malam ini berhasil!
*
Tita
Tin! Tin!
            Reuben datang.
            Kurapikan pakaianku sejenak, kemudian pamit dengan orang rumah. Huft, kenapa dag dig dug gini sih, padahal kan sama Reuben, bukan Mikha.
            “Hai Cantik, silakan masuk,” ujar Reuben tersenyum lebar, ia membukakan pintu mobil untukku.
            “Makasih, Ben,” aku tersipu dengan perlakuan Reuben yang enggak kayak biasanya ini, manis.
            “Langsung nih?”
            “Yap!”
*
Reuben
Gila, malem ini Tita lebih cantik dari biasanya. Aku sampai enggak bisa berhenti merhatiin dia, untung nyadar lagi nyetir. Oh iya, jangan sampai dia lihat ke belakang, ada sesuatu yang bakal aku kasih ke dia.
*
Tita
Green Cafe...
            Aku memilih tempat di taman, biar sejuk dan lebih romantis. Ah, alasan aja sih sebenernya. Disini tempatku sama Mikha kalau lagi nongkrong berdua.
            “Silakan memesan,” kata pelayan sembari memberikan kertas menu.
            “Ta, kamu tau nggak apa yang ada di menu?” tanya Reuben.
            “Apaan?” jawabku sambil membolak-balik menu.
            “Me n u,” ia menjawab pertanyaannya sendiri.
            Entah mengapa, aku senyum-senyum mendengarnya. Kalau kuperhatikan, Reuben sering banget ngegombal kayak gini. Tapi kayak enggak sekedar ngegombal gitu aja. Ah, apa sih Ta, ge-er banget.
            “Kamu mau pesen apa?” tanya Reuben lembut. Ada yang beda lagi, dia pakai aku-kamu.
            “Gue sama kayak yang elo pesen aja deh.”
            “Oke. Nasi goreng sama air mineralnya dua ya, mbak,” pesannya kepada pelayan. Setelah mencatat pesanan, pelayan tersebut pergi.
            “Ta, maaf ya kalau aku abis. Beberapa hari ini kamu sedih mulu, kenapa sih?” Reuben memulai percakapan.
            “Mikha kayaknya naksir Kanya, deh. Dia beda, kayaknya ada jaraknya gitu,” ceritaku singkat.
            “Yaelah, Mikha lagi. Sabar aja Ta, masih banyak kok yang sayang sama kamu, aku misalnya,” kata Reuben sambil menunduk.
            “Iya, lo mah emang sayang gue selalu dan selamanya kan? Hahaha...”
*
Reuben
            “Iya, lo mah emang sayang gue selalu dan selamanya kan? Hahaha...”
            Andai kamu ngerti Ta, sayang yang aku maksud. Lebih dari sayang yang kamu tahu.
*
Tita
“Eh, Ta, aku mau ngomong,” Reuben gugup. Tumben nih anak mau ngomong bilang segala.
            “Ngomong aja kali,” kataku santai sambil membuka ponselku.
            “Aku mau ngomong serius sama kamu, Ta. Jadi gini. Kita kan udah kenal dari lama banget. Kamu itu sahabat aku bangetlah, bahkan lebih, Ta. Aku tahu, sulit banget buat kamu lupain Mikha. Tapi aku harap, masih ada kesempatan buat aku, walaupun kemungkinan itu kecil. Kamu mau...”
            Sungguh, aku enggak bisa konsentrasi mendengarkan apa yang Reuben bilang, fokusku sekarang tengah tertuju ke status Line Mikha.
Kanya Kavarisa.
Ini apa...
“Ben, gue mau pulang. Sekarang,” aku beranjak dari tempat duduk dan menuju parkiran.
Reuben melongo, “Hei, kenapa?”
Kuabaikan pertanyaannya.
Aku patah hati.
*
Reuben
Aku enggak tahu Tita kenapa. Apa karena aku terlalu jujur atau ada hal lain yang mengusik dia. Yang jelas, malam ini gagal.
*
Tita
“Ben, maaf banget ya jadi berantakan. Tiba-tiba gue enggak enak badan. Mungkin bisa lain kali,” kataku sambil berusaha menahan tangis yang rasanya ingin segera tumpah.
            “Iya, enggak apa-apa. Aku selalu ada buat kamu, Ta, kapan pun kamu butuh, inget itu. Kamu baik-baik ya. Istirahat yang cukup, jangan sampai sakit,” pesannya lembut. “Aku pulang dulu, ya.”
            Tampak seulas kekecewaan di wajah Reuben. Tapi apa yang Reuben rasain, mungkin enggak separah apa yang aku rasain.
*
Tita
Pagi ini aku sengaja bangut siar biar telat masuk sekolah, biar sekalian di hukum dan enggak masuk kelas. Aku masih belum siap, lihat Mikha sama cewek lain.
*
Reuben
Semalam ponselku baterainya habis, jadi enggak bisa buka info terbaru. Baru pagi ini ngebuka ponsel dan aku tahu apa penyebabnya Tita semalem kayak gitu. Bel masuk sudah berbunyi, dan dia belum dateng. Tita, lo kemana?
*
Tita
“Maaf bu, saya telat,” aku ngos-ngosan.
“Tita, tumben kamu telat. Ya sudah, sana duduk,” perintah Bu Mira.
            Aku mencuri pandang ke arah Mikha. Ia juga sedang memandangku, uh...
            “Kamu kok bisa telat, Ta? Kamu sakit? Aku kan bisa jemput kamu. Aku khawatir tahu,” tutur Reuben setibanya aku duduk di bangku sebelahnya.
            “Santai aja kali, Ben, haha,” aku menjulurkan lidah.
            “Matamu sembab.”
            “Ben...”
            “Apa?”
            “Kita diperhatiin Bu Mira tahu.”
*
Tita
“Tita,” panggil seseorang yang berdiri di sampingku.
            Mikha.
            “Kamu kenapa?” tanyanya polos.
            “Aku enggak apa-apa kok, Mik. Oh ya, selamat ya, aku ikut seneng kok, hehe,” napasku sesak, menahan amarah.
            “Aku tahu, kamu ada apa-apa, Ta. Kamu paling enggak bisa bohong sama aku. Kamu kenapa?” Mikha menekanku untuk menjawab.
            “Kamu mau tahu aku kenapa?” aku mulai geram. “Aku sayang sama kamu, Mik. Lebih dari sayangnya seorang sahabat.”
            Aku beranjak dari kursiku, meninggalkannya yang terpaku.
            “Tita, aku...,”
            “Udah, Mik,” Mada mencegah Mikha untuk mengejarku. “Ben, kejar Tita.”
*
Tita
Kuusap air mataku yang mulai mengucur deras. Aku enggak tahu mau kemana, kubiarkan kakiku terus melangkah membawaku pergi menjauh dari segala situasi yang aku benci ini.
            “Tita...”
            Aku menoleh.
            Reuben.
            “Aku pernah bilang, aku selalu ada buat kamu, kapan pun kamu butuh,” ujar Reuben lembut.
            “Lo tau kan, dari gue kecil gue udah sayang sama Mikha. Mikha selalu jadi penyemangat gue. Tapi sekarang apa?” aku sesenggukan. “Di saat-saat kayak gini, gue butuh banget lo sama Mada. Mada yang udah gue anggep kayak abang gue sendiri, yang dulu perhatian banget sama gue, sekarang udah enggak terlalu karena dia udah punya cewek. Dan lo, Ben, satu-satunya yang gue harapin,” kataku sambil terisak.
            Reuben merengkuhku dalam pelukannya.
            “Kamu jangan nangis,” ia mengusap lembut air mata yang berjatuhan di pipiku. “Aku emang bukan Mikha dan selamanya aku enggak bakal bisa sama kayak dia. Tapi yang aku bisa dan akan selalu aku sanggupi, aku akan selalu sayang dan ngelindungin kamu, Ta,” bisik Reuben di telingaku.
            “Ben...,” tangisku tambah pecah dalam pelukannya.
            “Apa pun yang terjadi, Ta. Asal kamu tahu, aku pastiin aku akan ada untuk kamu, selalu.”
            “Makasih, makasih banget, Ben. Aku baru sadar, ternyata mungkin selama ini aku salah orang. Seharusnya aku peka sama perasaanmu, Ben. Aku baru sadar juga, jauh di dalam lubuk hatiku, aku juga sayang kamu,” ujarku pelan, tangisku mereda.
            “Aku sayang kamu, Tita.”
            “Aku juga sayang kamu, Reuben.”
            Aku tenggelam dalam pelukannya, lebih dalam lagi.

edited by Nooriftita Rizky
Wednesday, September 16th, 2015
08.45 pm