Tita
Kurasa
pagi ini cukup cerah. Matahari bersinar begitu benderang dan membuatku
kepanasan. Ya, pagi ini Mikha berangkat lebih awal dan enggak bilang apapun
sama aku, enggak seperti biasanya. Jadilah aku berangkat sekolah sendirian deh,
jalan kaki. Kalau ada Mikha kan, bisa bareng naik sepeda.
Di tengah peluh yang menderas,
kulihat mobil Mada sedang melintas. Segera aku berlarian mengejarnya.
“Mada!”
“Eh, elo. Sini naik,” kata Mada sembari keluar dari mobil untuk membukakan pintu mobil sisi kiri untukku.
“Eh, elo. Sini naik,” kata Mada sembari keluar dari mobil untuk membukakan pintu mobil sisi kiri untukku.
“Aduh, lo penyelamat banget Mad,”
ujarku. Kuambil dua lembar tisu di dashboard
untuk membersihkan wajahku yang berkeringat ini.
“Biasanya sama Mikha. Kemana itu
anak?” tanya Mada, melirikku sekilas.
“Nah, itu Mad. Gue udah siap
nungguin dia, enggak dateng-dateng coba. Akhirnya gue datengin rumahnya, terus
kata Tante Nay, dia udah berangkat dari tadi! Nyebelin banget nggak sih?”
omelku panjang lebar.
“Enggak sih, biasa aja,” komentar
Mada cuek.
“Ih orang gue cerita, di iyain aja
ngapa sih.”
“Iya deh, jangan marah dong,” pinta
Mada.
“Terus gue sebenernya paling betenya
nih di bagian dia enggak bilang apa-apa sama gue perihal ini. Telepon atau sms
deh kan bisa, jadinya kan gue enggak usah nunggu terus bisa telepon lo minta
jemput.”
“Yaelah Ta, lo pikir gue supir. Sama
Reuben kan juga bisa,” Mada protes sambil mengacak-acak rambutku.
“Ih, jangan gitu dong, udah rapi
juga,” aku merapikan rambutku. “Gue enggak kepikiran nelepon Ben. Biasanya
emang gimana sih?” kataku sambil menjulurkan lidah.
“Oke, emang biasanya gue jadi
supirnya lo dan dua cowok tengil itu. Omong-omong, Mikha harus banget ya
ngabarin lo?”
“Haruslah! Gue kan...”
“Hayo, lo siapanya?” pancing Mada
sambil senyum-senyum enggak jelas.
“Ya, gue sahabatnya dong. Gue juga
khawatir kali dia kenapa-kenapa,” jawabku. Aku memalingkan wajah ke jendela
untuk menutupi pipiku yang tiba-tiba memerah.
“Oh gitu ya, hehe,” tanggap Mada
usil.
*
Tita
Memasuki gerbang sekolah, Mada
mencari tempat yang masih kosong untuk memarkir mobilnya. Karena sudah agak
siang, parkiran lumayan penuh.
“Lo turun dulu aja, gue muter-muter
nyari tempat parkir soalnya,” perintah Mada.
“Oke kakak. Semangat ya cari
parkirannya, makasih juga tumpangannya!” kataku. Kulihat Mada hanya mendengus
kesal, dia emang selalu begitu.
Usai turun dari mobil, aku bergegas
menuju kelas Ekonomi 2, kelasku pada jam pertama.
“Tita!”
Aku
menoleh ke belakang. Kudapati Reuben tersenyum kemudian menghampiriku.
“Lo
jam pertama Ekonomi 2 kan? Kita kelas bareng, gue sama lo ya,” kata Reuben sembari
merapikan kerahnya.
“Oke, siap. Eh, lo kok ganteng
banget sih pagi ini,” pujiku jujur.
Reuben tersenyum lagi, lebih manis.
“Apa sih Ta, gue emang ganteng. Lo nya aja enggak pernah nyadar.”
“Ah elu mah, dipuji beneran malah
narsis, dasar,” ujarku sewot.
“Iya Sayang, jangan ngambek dong,
nanti manisnya hilang,” goda Reuben, senyum-senyum di depan wajahku.
“Idih, panggil-panggil sayang. Siapa
lo? Siapa gue? Hah?”
“Ah, lo lagi badmood ya?” Reuben
mulai menginterogerasi, mendeteksi keanehan pada diriku.
“Ya gitu deh, Ben.”
“Kenapa? Cerita sama gue,” Reuben
menggandeng tanganku, kemudian duduk di kursi koridor.
“Mikha berangkat sekolah awal enggak
ngabarin.”
“Udah? Gitu doang?” tanya Reuben
heran.
“Intinya sih gitu. Untungnya tadi
waktu di jalan ketemu Mada, ya udah numpang deh,” ceritaku.
“Kenapa enggak telepon gue? Kan bisa
gue jemput,” tanya Reuben.
“Hehe, maaf Ben, gue enggak
kepikiran elo,” jawabku polos. Sekilas mimik wajah Reuben berubah.
“Oh, gitu ya,” timpal Reuben. “Tadi
gue lihat Mikha kok, sama cewek.”
DEG!
Seketika jantungku berdebar lebih
cepat dari sebelumnya. Cewek? Dia sama siapa? Aduh...
“Siapa?” tanyaku singkat.
“Kurang tahu, tapi kayaknya anak
baru deh. Mikha kan tukang nganterin anak baru di sekolah,” jawab Reuben.
“Cantik nggak, sih?”
“Kan gue udah bilang, gue kurang
tahu. Kalau pun dia cantik, enggak bakal secantik elo, Ta,” rayuan gombal
Reuben mulai muncul lagi.
Pipiku merona merah.
“Cie baper, hahaha. Tapi beneran,
apa yang gue bilang tadi enggak bohong,” jelasnya.
Teng! Teng!
Bel tanda masuk kelas sudah
berbunyi. Aku dan Reuben mempercepat langkah menuju kelas yang masih beberapa
meter lagi.
Reuben menggandeng tanganku.
*
Mikha
“Kamu
pindahan dari mana?” tanyaku sambil berjalan menuju kelas.
“Aku dari Bandung,” jawabnya
singkat.
Anak baru ini namanya Kanya Kavarisa,
begitu yang aku baca dari name tag yang
ia kenakan. Nama yang manis, seperti orangnya, kurasa.
“Ini jam pertama kamu di Ekonomi 2,
bareng aku. Nanti kalau masih bingung tentang jadwal kelasnya, hubungin aku
aja,” kataku sambil memberikan kartu namaku.
“Mikha Angelo,” bacanya. “Nama kamu
bagus, Mik.”
“Haha, bisa aja kamu. Ya udah yuk ke
kelas, udah bel masuk,” ajakku.
*
Tita
Kelas
masih ramai karena Pak Adit belum datang. Tapi, kelas tiba-tiba menjadi diam
seketika. Mikha masuk kelas. Bukan, bukan dia yang menjadi pusat perhatian,
tetapi gadis di belakangnya. Apakah dia anak barunya?
Mikha duduk di bangku depanku
bersama gadis itu. Rasa kesal timbul dalam hatiku.
“Mik,” panggilku pelan.
“Ta, maaf banget aku enggak sempet
ngabarin, biasa tugas dadakan. Maafin aku, ya?” mohon Mikha.
“Iya aku maafin kok. Lain kali
jangan gitu dong, aku jadi khawatir tahu. Eh, tapi biar aku maafin sepenuhnya
Mik, ntar malem makan bareng yuk,” pintaku.
“Oke deh, biar aku dimaafin
sepenuhnya, haha,” Mikha mengiyakan.
*
Tita
“Eh,
ke kantin, yuk, “ ajak Sonya, teman tapi mesranya si Mada.
“Gue ngajak Kanya ya, biar rame
sekalian kenalan,” kata Mada sambil menepuk pundak Kanya.
Kami berenam, dengan formasi
Mada-Sonya, Reuben-aku, dan Mikha-Kanya berjalan menuju kantin. Entah kenapa,
aku jadi enggak mood. Reuben yang
memperhatikanku, mulai kepo, “Lo napa lagi?”
“Temenin gue yuk di kelas aja,
tiba-tiba gue enggak enak badan,” aku menggandeng Reuben untuk berbalik arah,
kembali ke kelas.
“Eh, mau kemana, Ta?” tanya Mikha
yang melihat aku berbalik arah.
“Kelas.”
Kemudian aku tak mendengarkan lagi
apa yang Mikha tanyakan, aku ingin segera sampai kelas.
*
Reuben
Aku
paling sedih kalau lihat Tita kayak gini. Kenapa Mikha enggak bisa ngertiin si
Tita sih? Coba kalau aku bisa gantiin Mikha di hati kamu, Ta.
*
Mikha
Kurapikan
lagi kemejaku, memastikan tidak ada yang kusut. Setelah kurasa keren, aku
bergegas menuju markasku dan Tita sambil membawa gitar. Tempat pertama kali
kita bertemu waktu kecil, di tengah-tengah halaman antara rumahku dan Tita.
Disana, kita selalu duduk bersama sambil
cerita-cerita hal konyol sampai yang serius. Kadang aku memainkan gitar sambil
bernyanyi, Tita berbaring di rumput sambil memejamkan matanya. Entah apa yang
dia pikirkan.
Kulihat Tita sudah menungguku.
“Mik, lama amat sih,” protesnya begitu melihat
kedatanganku.
“Maaflah, lagi persiapan biar cakep, ya nggak?”
ujarku.
“Nggak usah diapa-apain juga, udah cakep Mik,” kata Tita,
tersenyum.
Aku dan Tita duduk bersebelahan. Ia menyandarkan
kepalanya dipundakku.
“Nyanyi dong,” pintanya pelan.
Kuambil gitar yang kuletakkan di sampingku. Aku
mulai memetik senar demi senar gitar, mengalunkan lagu kesukaan kami berdua.
Aku cinta, aku takkan berdiam diri
Sampai kau mengerti
Aku cinta, dan tak mungkin ada akhirnya
Karena kaulah yang sempurna untukku
“Yay, bagus, Mik. Makin lama suara kamu makin oke aja.
Kenapa enggak ikut band aja? Jadi vokalis?” usul Tita sambil memandangku dengan
wajah yang menggemaskan.
“Apa sih, cuma suara gini doang di bilang bagus, malu
kali, Ta,” tolakku. Aku memang enggak berminat dengan mengikuti band sekolah.
“Cewek tadi, menurut kamu gimana?”
“Kanya? Manis sih orangnya,” jawabku.
“Oh gitu ya,” komentarnya singkat, sedikit nada kecewa
terdengar.
Kuhabiskan malam ini bersama sahabatku, Tita. Berbaring
di rerumputan sambil memandangi jutaan bintang yang menghiasi langit malam. Menikmati
malam yang indah ini bersama gadis yang aku selalu nyaman bersamanya. Tapi, entah
mengapa, perlahan rasa nyaman itu memudar.
*
Tita
Ta, maaf banget enggak bisa berangkat bareng lagi. Mau
nemenin Kanya keliling sekolah.
Begitu isi pesan singkat yang kuterima pagi ini sebangun
tidur. Tubuhku rasanya lemas, semangatku menghilang.
Ini.
Kabar buruk.
*
Tita
“Pagi Nona Cemberut,” sapa
Reuben sambil terkekeh.
“Hey, enak aja manggil gue Nona Cemberut,” aku menjitak
kepala Reuben pelan. “Lo ntar malem ada acara enggak?”
“Enggak tuh, kenapa?” tanya Reuben heran.
“Jalan yuk, gue lagi butuh hiburan konyolnya elo,” ujarku
jujur.
“Wah, tumben-tumbenan nih. Dimana?” Reuben antusias
banget.
“Di Green Cafe ya, jam 7 malem, awas lo telat gue tabok,”
ancamku sambil bercanda.
“Oke, siap, Sayang. Nanti jam 7 tepat, gue jemput elo.”
Setidaknya, aku bisa melupakan beban ini sejenak.
*
Reuben
Demi apa woy, Tita ngajak
jalan! Hahaha, aku seneng banget sumpah. Mungkin ini bakal jadi waktu yang
tepat buat ngomong ke dia. Oke, saatnya aku jemput cewek kesayanganku. Semoga
malam ini berhasil!
*
Tita
Tin! Tin!
Reuben datang.
Kurapikan pakaianku sejenak, kemudian pamit dengan orang
rumah. Huft, kenapa dag dig dug gini sih, padahal kan sama Reuben, bukan Mikha.
“Hai Cantik, silakan masuk,” ujar Reuben tersenyum lebar,
ia membukakan pintu mobil untukku.
“Makasih, Ben,” aku tersipu dengan perlakuan Reuben yang
enggak kayak biasanya ini, manis.
“Langsung nih?”
“Yap!”
*
Reuben
Gila, malem ini Tita lebih
cantik dari biasanya. Aku sampai enggak bisa berhenti merhatiin dia, untung
nyadar lagi nyetir. Oh iya, jangan sampai dia lihat ke belakang, ada sesuatu
yang bakal aku kasih ke dia.
*
Tita
Green Cafe...
Aku memilih tempat di taman, biar sejuk dan lebih
romantis. Ah, alasan aja sih sebenernya. Disini tempatku sama Mikha kalau lagi nongkrong
berdua.
“Silakan memesan,” kata pelayan sembari memberikan kertas
menu.
“Ta, kamu tau nggak apa yang ada di menu?” tanya Reuben.
“Apaan?” jawabku sambil membolak-balik menu.
“Me n u,” ia menjawab pertanyaannya sendiri.
Entah mengapa, aku senyum-senyum mendengarnya. Kalau
kuperhatikan, Reuben sering banget ngegombal kayak gini. Tapi kayak enggak
sekedar ngegombal gitu aja. Ah, apa sih Ta, ge-er banget.
“Kamu mau pesen apa?” tanya Reuben lembut. Ada yang beda
lagi, dia pakai aku-kamu.
“Gue sama kayak yang elo pesen aja deh.”
“Oke. Nasi goreng sama air mineralnya dua ya, mbak,”
pesannya kepada pelayan. Setelah mencatat pesanan, pelayan tersebut pergi.
“Ta, maaf ya kalau aku abis. Beberapa hari ini kamu sedih
mulu, kenapa sih?” Reuben memulai percakapan.
“Mikha kayaknya naksir Kanya, deh. Dia beda, kayaknya ada
jaraknya gitu,” ceritaku singkat.
“Yaelah, Mikha lagi. Sabar aja Ta, masih banyak kok yang
sayang sama kamu, aku misalnya,” kata Reuben sambil menunduk.
“Iya, lo mah emang sayang gue selalu dan selamanya kan?
Hahaha...”
*
Reuben
“Iya, lo mah emang
sayang gue selalu dan selamanya kan? Hahaha...”
Andai kamu ngerti Ta, sayang yang aku maksud. Lebih dari
sayang yang kamu tahu.
*
Tita
“Eh, Ta, aku mau ngomong,”
Reuben gugup. Tumben nih anak mau ngomong bilang segala.
“Ngomong aja kali,” kataku santai sambil membuka
ponselku.
“Aku mau ngomong serius sama kamu, Ta. Jadi gini. Kita
kan udah kenal dari lama banget. Kamu itu sahabat aku bangetlah, bahkan lebih,
Ta. Aku tahu, sulit banget buat kamu lupain Mikha. Tapi aku harap, masih ada
kesempatan buat aku, walaupun kemungkinan itu kecil. Kamu mau...”
Sungguh, aku enggak bisa konsentrasi mendengarkan apa
yang Reuben bilang, fokusku sekarang tengah tertuju ke status Line Mikha.
Kanya
Kavarisa.
Ini
apa...
“Ben,
gue mau pulang. Sekarang,” aku beranjak dari tempat duduk dan menuju parkiran.
Reuben
melongo, “Hei, kenapa?”
Kuabaikan
pertanyaannya.
Aku
patah hati.
*
Reuben
Aku enggak tahu Tita kenapa.
Apa karena aku terlalu jujur atau ada hal lain yang mengusik dia. Yang jelas,
malam ini gagal.
*
Tita
“Ben, maaf banget ya jadi
berantakan. Tiba-tiba gue enggak enak badan. Mungkin bisa lain kali,” kataku
sambil berusaha menahan tangis yang rasanya ingin segera tumpah.
“Iya, enggak apa-apa. Aku selalu ada buat kamu, Ta, kapan
pun kamu butuh, inget itu. Kamu baik-baik ya. Istirahat yang cukup, jangan
sampai sakit,” pesannya lembut. “Aku pulang dulu, ya.”
Tampak seulas kekecewaan di wajah Reuben. Tapi apa yang
Reuben rasain, mungkin enggak separah apa yang aku rasain.
*
Tita
Pagi ini aku sengaja bangut
siar biar telat masuk sekolah, biar sekalian di hukum dan enggak masuk kelas.
Aku masih belum siap, lihat Mikha sama cewek lain.
*
Reuben
Semalam ponselku baterainya
habis, jadi enggak bisa buka info terbaru. Baru pagi ini ngebuka ponsel dan aku
tahu apa penyebabnya Tita semalem kayak gitu. Bel masuk sudah berbunyi, dan dia
belum dateng. Tita, lo kemana?
*
Tita
“Maaf bu, saya telat,” aku
ngos-ngosan.
“Tita,
tumben kamu telat. Ya sudah, sana duduk,” perintah Bu Mira.
Aku mencuri pandang ke arah Mikha. Ia juga sedang
memandangku, uh...
“Kamu kok bisa telat, Ta? Kamu sakit? Aku kan bisa jemput
kamu. Aku khawatir tahu,” tutur Reuben setibanya aku duduk di bangku
sebelahnya.
“Santai aja kali, Ben, haha,” aku menjulurkan lidah.
“Matamu sembab.”
“Ben...”
“Apa?”
“Kita diperhatiin Bu Mira tahu.”
*
Tita
“Tita,” panggil seseorang
yang berdiri di sampingku.
Mikha.
“Kamu kenapa?” tanyanya polos.
“Aku enggak apa-apa kok, Mik. Oh ya, selamat ya, aku ikut
seneng kok, hehe,” napasku sesak, menahan amarah.
“Aku tahu, kamu ada apa-apa, Ta. Kamu paling enggak bisa
bohong sama aku. Kamu kenapa?” Mikha menekanku untuk menjawab.
“Kamu mau tahu aku kenapa?” aku mulai geram. “Aku sayang
sama kamu, Mik. Lebih dari sayangnya seorang sahabat.”
Aku beranjak dari kursiku, meninggalkannya yang terpaku.
“Tita, aku...,”
“Udah, Mik,” Mada mencegah Mikha untuk mengejarku. “Ben,
kejar Tita.”
*
Tita
Kuusap air mataku yang mulai
mengucur deras. Aku enggak tahu mau kemana, kubiarkan kakiku terus melangkah
membawaku pergi menjauh dari segala situasi yang aku benci ini.
“Tita...”
Aku menoleh.
Reuben.
“Aku pernah bilang, aku selalu ada buat kamu, kapan pun kamu butuh,” ujar Reuben lembut.
“Aku pernah bilang, aku selalu ada buat kamu, kapan pun kamu butuh,” ujar Reuben lembut.
“Lo tau kan, dari gue kecil gue udah sayang sama Mikha.
Mikha selalu jadi penyemangat gue. Tapi sekarang apa?” aku sesenggukan. “Di
saat-saat kayak gini, gue butuh banget lo sama Mada. Mada yang udah gue anggep
kayak abang gue sendiri, yang dulu perhatian banget sama gue, sekarang udah
enggak terlalu karena dia udah punya cewek. Dan lo, Ben, satu-satunya yang gue
harapin,” kataku sambil terisak.
Reuben merengkuhku dalam pelukannya.
“Kamu jangan nangis,” ia mengusap lembut air mata yang
berjatuhan di pipiku. “Aku emang bukan Mikha dan selamanya aku enggak bakal
bisa sama kayak dia. Tapi yang aku bisa dan akan selalu aku sanggupi, aku akan
selalu sayang dan ngelindungin kamu, Ta,” bisik Reuben di telingaku.
“Ben...,” tangisku tambah pecah dalam pelukannya.
“Apa pun yang terjadi, Ta. Asal kamu tahu, aku pastiin
aku akan ada untuk kamu, selalu.”
“Makasih, makasih banget, Ben. Aku baru sadar, ternyata
mungkin selama ini aku salah orang. Seharusnya aku peka sama perasaanmu, Ben.
Aku baru sadar juga, jauh di dalam lubuk hatiku, aku juga sayang kamu,” ujarku
pelan, tangisku mereda.
“Aku sayang kamu, Tita.”
“Aku juga sayang kamu, Reuben.”
Aku tenggelam dalam pelukannya, lebih dalam lagi.
edited by Nooriftita Rizky
Wednesday, September 16th, 2015
08.45 pm